FRAKTUR
- PENDAHULUAN
-
Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Hal ini dapat menimpa siapa saja dari yang muda
hingga yang tua. Dampak dari fraktur bermacam – macam sesuai dengan jejas dan
karakter tulang yang fraktur. Dengan fraktur diperlukan asuhan keperawatan yang
komprehensif sehingga tidak menimbulkan gejala sisa yang dapat berupa
kontraktur bahkan tidak berfungsinya kembali jaringan tulang atupun otot
sekitar. Untuk itu diperlukan pemberian asuhan keperawatan yang baik dan
profesional.
-
Tujuan
Tujuan laporan pendahuluan asuhan keperawatan dengan fraktur adalah
:
1.
Mengetahui dan memahami
mengenai fraktur, meliputi definisi, etiologi dan penatalaksanaan fraktur.
2.
Mengetahui masalah keperawatan
yang muncul pada kasus fraktur.
3.
Mengetahui tindakan keperawatan
yang diberikan dan tujuan keperawatan.
- TINJAUAN TEORI
1.
Pengertian
a.
Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan
menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation
menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical
Surgical Nursing.
b.
Patah Tulang Tertutup
Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000,
diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain
menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih
(karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A,
1992).
2.
Etiologi
a.
Trauma :
Langsung (kecelakaan lalulintas)
Tidak langsung (jatuh dari
ketinggian dengan posisi berdiri/duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang
)
b.
Patologis : Metastase dari tulang
c.
Degenerasi
d.
Spontan : Terjadi tarikan otot yang sangat kuat.
3.
Faktor Predisposisi/Faktor
Pencetus
a.
Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
b.
Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang
ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c.
Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan. (Oswari E, 1993)
4.
Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup
mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan
lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan
tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang
segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis
ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi,
eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah
yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
a.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
fraktur
1)
Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang
tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
2)
Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang
menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari
tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )
b. Biologi penyembuhan
tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain.
Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh
aktivitas sel-sel tulang.
1.
Stadium Satu-Pembentukan
Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar
daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang
rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini
berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2.
Stadium Dua-Proliferasi
Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi
sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone
marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini
terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast
beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah
tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini
berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung
frakturnya.
3.
Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang
kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan
mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh
kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel
tulang yang mati. Massa
sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau
bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur
berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4.
Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut,
anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoclast menerobos
melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast
mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini
adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat
untuk membawa beban yang normal.
5.
Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh
proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur
yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)
5.
Tanda dan Gejala
a.
Nyeri, terus
menerus dan bertambah berat sampai fragme tulang di imobilisasi. Spasme otot
yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
menimbulkan gferakan atar afragmen tulang.
b.
Setelah
fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara
alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstimitas yang
bisa diketahui adengan membandingkan dengan ekstrimitas normal. Ekstrimitas tak
dapat berfungsi denga baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas
tulag tempat melengketnya otot.
c.
Pada fraktur
panjang terjadi pemendeka tulang karena kontraksi otot yang melekat diatas da
bawah tempat fraktur.
d.
Saat
diperiksa dengan tangan teraba derik tulang yang disebut krepitus akibat
gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji kreptus dapat berakibat
kerusakan jaringan lunak yang lebih berat)
e.
Pembegkaan
dan perubahan warna lokal pada kulit karena trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru
terjadi setelahb eberapa jam atau hari.
f.
Tidak semua
tanda dan gejala diatas terdapat pada setiap fraktur. Diagnosis fraktur
tergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaaan sinar X.
6.
Pemeriksaan Penunjang
a)
Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi
yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas
dasar indikasi kegunaan pemeriksaan
penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca
pada x-ray:
(1)
Bayangan jaringan lunak.
(2)
Tipis tebalnya korteks sebagai
akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3)
Trobukulasi ada tidaknya rare
fraction.
(4)
Sela sendi serta bentuknya
arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane
x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1)
Tomografi: menggambarkan tidak
satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi.
Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2)
Myelografi: menggambarkan
cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
(3)
Arthrografi: menggambarkan
jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4)
Computed Tomografi-Scanning:
menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
b)
Pemeriksaan Laboratorium
(1)
Kalsium Serum dan Fosfor Serum
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2)
Alkalin Fosfat meningkat pada
kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3)
Enzim otot seperti Kreatinin
Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c)
Pemeriksaan lain-lain
(1)
Pemeriksaan mikroorganisme
kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2)
Biopsi tulang dan otot: pada
intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan
bila terjadi infeksi.
(3)
Elektromyografi: terdapat
kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4)
Arthroscopy: didapatkan jaringan
ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5)
Indium Imaging: pada
pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6)
MRI: menggambarkan semua
kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
7.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Kedaruratan.
Bila dicurigai adanya fraktur penting
untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera sebelum pasien dipindahkan bila
pasien yang mengalami cidera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat
dilakukan pembidaian, ekstrimitas harus disangga diatas dan di bawah tempat
fraktur untuk mencegah gerakan rotasi/angulasi. Gerakan frgmen patahan tulang
dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut.
Nyeri dapt dikurangi dengan menghindari gerakan fragmnen tulang dan sendi
sekitar fraktur. Pembidaian sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan
lunak oleh fragmen tulang.
Imobilisasi tulang panjang ekstrimitas
bawah juga dapat dilakkan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan
ekstrimitas yang sehat sebagai bidai bagi ekstrimitas yang cidera.
Pada ekstrimitas atas lengan dapat
dibebatkan pada dada atau lengan bawah yang cidera digantung pada sling. Pada
fraktur terbuka luka ditutup dengan pembalut erdih atau steril untuk mencegah
kontaminasi jaringan yang lebih dalam, jangan sekali-kali melakukan reduksi
fraktur bahkan jika ada fragmen tulang melalui luka.
Prinsip Penanganan Reduksi Fraktur
1. Reduksi fraktur, mengembalikan fragmen
tulang pada kesejajarannya dan rotasi
anatomis. Reduksi tertutup, fraksi, atau
reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode yang dipilih
tergantung pada sifat fraktur tapi prinsip yang mendasari sama. Sebelu reduksi
dan imobilisasi fraktur pasien harus dipersiapkan: ijin melakukan prosedur,
analgetik sesuai ketentuan, dan persetujuan anestasi.
Reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisiya dengan
manipulasi dan trksi manual.
2. Traksi , digunakan utuk mendapatkan efek
reduksi dan imobilisasi yang disesuaikan denganspsme otot yang terjadi.
3. Reduksi
terbuka, alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku,
atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya.
4. Imobilisasi Fraktur, setelah direduksi fragmen
tulang harus di imobilisasi dan dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksternal (gips,pembalutan, bidai, traksi kontinyu, pin dan teknik gips atau
fiksator eksternal) dan interna ( implant logam ).
5. Mempertahankan
dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan
jaringan lunak. Reduksi dam imoblisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.
Status neuroveskuler ( mis. Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan,
gerakan) dipantau dan ahli bedah ortopedi dibri tahu segera bila ada tanda
gangguan neurovaskuler. Kegelisahan , ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol
dengan berbagai pendekatan. Latihan isometrik dan setting otot diusahaka
untuk meminimalkan atrifi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Pengembalian
brtahap pada aktifitas swemula diusahakan sesuai dengan batasan terapeutik.
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur.
¨ Imoblisasi fragmen tulang
¨ Kontak fragmen tulang maksimal
¨ Asupan darah yang memadai
¨ Utrisi yangbaik
¨ Latihan pembebanan untuk tulang panjang
¨ Hormon-hormonn pertumbuhan , tiroid, kaisitonon,
vitamin D, steroid dan anabolik
¨ Potensial listrik pada patahan tulang
Faktor
yang menghambat penyembuhan tulang
·
Trauma lokal
ekstensif
·
Kehilangan
tulang
·
Imoblisasi
tak memadai
·
Rongga atau
ajaringan diantara fragmen tulang
·
Infeksi
·
Keganasan
lokal
·
Penyakit
tulang metabolik (paget)
·
Tadiasi
tulang (nekrosis radiasi)
·
Nekrosis
evakuler
·
Fraktur
intraartikuler (cairan senovial mengandung fibrolisin, yang akan melisis bekuan
darah awal dan memperlambat pertumbuhan jendalan)
·
Usia (lansia
sembuh lebih lama)
·
Kartikusteroid
(menghambat kecepata perbaikan
1.
Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam
proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.
Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini
terbagi atas:
Pengumpulan Data
1)
Anamnesa
a)
Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur,
alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b)
Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan
utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau
kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1)
Provoking Incident: apakah ada
peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2)
Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang
dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3)
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit
bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
(4)
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa
nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
(5)
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk
menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan
bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
d)
Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan
kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut
akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit
paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan
tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e)
Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan
dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
f)
Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g)
Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1)
Pola Persepsi dan Tata Laksana
Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul
ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid
yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2)
Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi
nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit.
C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau
protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi
masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3)
Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada
gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada
pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4)
Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa
nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan
tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.
(5)
Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan
gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
(6)
Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam
keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
(7)
Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur
yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan body image).
(8)
Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya
berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain
tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
(9)
Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu,
klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap
dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga,
perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas
tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan
fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat
melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2)
Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan
umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan
setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena
ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih
sempit tetapi lebih mendalam.
a)
Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1)
Keadaan umum: baik atau
buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a)
Kesadaran penderita: apatis,
sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b)
Kesakitan, keadaan penyakit:
akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c)
Tanda-tanda vital tidak normal
karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2)
Secara sistemik dari kepala
sampai kelamin
(a)
Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah
trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b)
Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c)
Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
(d)
Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e)
Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan)
(f)
Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
(g)
Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h)
Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i)
Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
(j)
Paru
(1)
Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau
tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2)
Palpasi
Pergerakan sama atau simetris,
fermitus raba sama.
(3)
Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau
suara tambahan lainnya.
(4)
Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada
wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k)
Jantung
(1)
Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2)
Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3)
Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada
mur-mur.
(l)
Abdomen
(1)
Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2)
Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
(3)
Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4)
Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran
lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b)
Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan
proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler.
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1)
Look (inspeksi)
Perhatikan
apa yang dapat dilihat antara lain:
(a)
Cictriks (jaringan parut baik
yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b)
Cape au lait spot (birth mark).
(c)
Fistulae.
(d)
Warna kemerahan atau kebiruan
(livide) atau hyperpigmentasi.
(e)
Benjolan, pembengkakan, atau
cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f)
Posisi dan bentuk dari
ekstrimitas (deformitas)
(g)
Posisi jalan (gait, waktu masuk
ke kamar periksa)
(2)
Feel (palpasi)
Pada waktu
akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi
netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a)
Perubahan suhu disekitar trauma
(hangat) dan kelembaban kulit.
(b)
Apabila ada pembengkakan,
apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c)
Nyeri tekan (tenderness),
krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu
relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada
tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan,
maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3)
Move (pergeraka terutama
lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel,
kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral)
atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2.
Diagnosa Keperawatan
a.
Nyeri akut
b.
Kerusakan
integritas jaringan
c.
Kerusakan
mobilitas fisik
d.
Deficit self
care
e.
Resiko
infeksi
3.
Rencana Asuhan Keperawatan
No
|
Diagnosa
keperawatan
|
Tujuan
dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
1.
|
Nyeri
akut
Definisi
:
Sensori
yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara aktual
atau potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan
(Asosiasi Studi Nyeri Internasional): serangan mendadak atau pelan
intensitasnya dari ringan sampai berat yang dapat diantisipasi dengan akhir
yang dapat diprediksi dan dengan durasi kurang dari 6 bulan.
Batasan
karakteristik :
-
Laporan secara
verbal atau non verbal
-
Fakta dari
observasi
-
Posisi antalgic
untuk menghindari nyeri
-
Gerakan
melindungi
-
Tingkah laku berhati-hati
-
Muka topeng
-
Gangguan tidur
(mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
-
Terfokus pada
diri sendiri
-
Fokus menyempit
(penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi
dengan orang dan lingkungan)
-
Tingkah laku
distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas,
aktivitas berulang-ulang)
-
Respon autonom
(seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan
dilatasi pupil)
-
Perubahan
autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)
-
Tingkah laku
ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
-
Perubahan dalam
nafsu makan dan minum
Faktor
yang berhubungan :
Agen
injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis)
|
NOC
:
v Pain Level,
v Pain control,
v Comfort level
Kriteria
Hasil :
v Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
v Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
v Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan
tanda nyeri)
v Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
v Tanda vital dalam rentang normal
|
Pain
Management
§ Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
§ Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
§ Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
§ Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
§ Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
§ Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang
ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
§ Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
dukungan
§ Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
§ Kurangi faktor presipitasi nyeri
§ Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non
farmakologi dan inter personal)
§ Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
§ Ajarkan tentang teknik non farmakologi
§ Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
§ Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
§ Tingkatkan istirahat
§ Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak berhasil
§ Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic
Administration
§ Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat
nyeri sebelum pemberian obat
§ Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan
frekuensi
§ Cek riwayat alergi
§ Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari
analgesik ketika pemberian lebih dari satu
§ Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya
nyeri
§ Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis
optimal
§ Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur
§ Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
§ Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
§ Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek
samping)
|
2.
|
Resiko
Infeksi
Definisi
: Peningkatan resiko masuknya organisme patogen
Faktor-faktor
resiko :
-
Prosedur Infasif
-
Ketidakcukupan
pengetahuan untuk menghindari paparan patogen
-
Trauma
-
Kerusakan
jaringan dan peningkatan paparan lingkungan
-
Ruptur membran
amnion
-
Agen farmasi
(imunosupresan)
-
Malnutrisi
-
Peningkatan
paparan lingkungan patogen
-
Imonusupresi
-
Ketidakadekuatan
imum buatan
-
Tidak adekuat
pertahanan sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon inflamasi)
-
Tidak adekuat
pertahanan tubuh primer (kulit tidak utuh, trauma jaringan, penurunan kerja
silia, cairan tubuh statis, perubahan sekresi pH, perubahan peristaltik)
-
Penyakit kronik
|
NOC
:
v Immune Status
v Knowledge : Infection control
v Risk control
Kriteria
Hasil :
v Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
v Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang
mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya,
v Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
v Jumlah leukosit dalam batas normal
v Menunjukkan perilaku hidup sehat
|
NIC
:
Infection
Control (Kontrol infeksi)
·
Bersihkan
lingkungan setelah dipakai pasien lain
·
Pertahankan
teknik isolasi
·
Batasi pengunjung
bila perlu
·
Instruksikan pada
pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
meninggalkan pasien
·
Gunakan sabun
antimikrobia untuk cuci tangan
·
Cuci tangan
setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
·
Gunakan baju,
sarung tangan sebagai alat pelindung
·
Pertahankan
lingkungan aseptik selama pemasangan alat
·
Ganti letak IV
perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
·
Gunakan kateter
intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
·
Tingktkan intake
nutrisi
·
Berikan terapi
antibiotik bila perlu
Infection
Protection (proteksi terhadap infeksi)
·
Monitor tanda dan
gejala infeksi sistemik dan lokal
·
Monitor hitung
granulosit, WBC
·
Monitor
kerentanan terhadap infeksi
·
Batasi pengunjung
·
Saring pengunjung
terhadap penyakit menular
·
Partahankan
teknik aspesis pada pasien yang beresiko
·
Pertahankan
teknik isolasi k/p
·
Berikan perawatan
kuliat pada area epidema
·
Inspeksi kulit
dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
·
Ispeksi kondisi
luka / insisi bedah
·
Dorong masukkan
nutrisi yang cukup
·
Dorong masukan
cairan
·
Dorong istirahat
·
Instruksikan
pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
·
Ajarkan pasien
dan keluarga tanda dan gejala infeksi
·
Ajarkan cara
menghindari infeksi
·
Laporkan
kecurigaan infeksi
·
Laporkan kultur
positif
|
3.
|
Sindroma Defisit Perawatan Diri
( kurang perawatan diri : mandi, berpakaian, makan, dan toileting )
Definisi
: Gangguan kemampuan untuk melakukan ADL pada diri
Batasan karakteristik :
ketidakmampuan untuk mandi, ketidakmampuan untuk berpakaian,
ketidakmampuan untuk makan, ketidakmampuan untuk toileting.
Faktor yang berhubungan :
kelemahan, kerusakan kognitif atau perceptual, kerusakan
neuromuskular/ otot-otot saraf.
|
NOC
-
Self care : hygiene
-
Self care : Activity of Daily Living (ADL)
-
Self care :
Bathing, dressing, feeding, dan toileting.
Kriteria hasil :
-
Tubuh tidak bau/kotor
dan kulit terjaga
-
Tertarik untuk ADL
sesuai kemampuannya
-
Menjelaskan dan
menggunakan metode perawatan diri secara aman dan dengan kesulitan
minimal
|
Self care
assistance : ADL (Activity Daily Living)
|
4.
|
Kerusakan Mobilitas Fisik
Definisi :
Keterbatasan dalam kebebasan
untuk pergerakan fisik tertentu pada bagian tubuh atau satu atau lebih
ekstremitas
Batasan karakteristik :
-
Postur tubuh yang
tidak stabil selama melakukan kegiatan rutin harian
-
Keterbatasan
kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik kasar
-
Keterbatasan
kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus
-
Tidak ada
koordinasi atau pergerakan yang tersentak-sentak
-
Keterbatasan ROM
-
Kesulitan berbalik
(belok)
-
Perubahan gaya
berjalan (Misal : penurunan kecepatan berjalan, kesulitan memulai jalan,
langkah sempit, kaki diseret, goyangan yang berlebihan pada posisi lateral)
-
Penurunan waktu
reaksi
-
Bergerak
menyebabkan nafas menjadi pendek
-
Usaha yang kuat
untuk perubahan gerak (peningkatan perhatian untuk aktivitas lain, mengontrol
perilaku, fokus dalam anggapan ketidakmampuan aktivitas)
-
Pergerakan yang
lambat
-
Bergerak
menyebabkan tremor
Faktor yang berhubungan :
-
Pengobatan
-
Terapi pembatasan
gerak
-
Kurang pengetahuan
tentang kegunaan pergerakan fisik
-
Indeks massa tubuh
diatas 75 tahun percentil sesuai dengan usia
-
Kerusakan persepsi
sensori
-
Tidak nyaman,
nyeri
-
Kerusakan
muskuloskeletal dan neuromuskuler
-
Intoleransi
aktivitas/penurunan kekuatan dan stamina
-
Depresi mood atau
cemas
-
Kerusakan kognitif
-
Penurunan kekuatan
otot, kontrol dan atau masa
-
Keengganan untuk
memulai gerak
-
Gaya hidup yang
menetap, tidak digunakan, deconditioning
-
Malnutrisi
selektif atau umum
-
Kehilangan
integritas struktur tulang
|
NOC :
Ambulation : Walking
Mobility Level
Self Care : activities of Daily Living (ADLs)
Kriteria Hasil :
|
NIC :
Exercise Therapy :
Ambulation (Terapi Aktivitas : Ambulasi)
§ Monitoring
vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
§ Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan
kebutuhan
§ Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap
cedera
§ Ajarkan
pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
§ Kaji
kemampuan pasien dalam mobilisasi
§ Latih
pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
§ Dampingi
dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
§ Berikan
alat Bantu jika klien memerlukan.
§ Ajarkan
pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
|
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi
dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta , 1995.
Black, J.M, et al, Luckman and
Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition,
W.B. Saunder Company, 1995.
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan
dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta ,
1999.
Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat
Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia , Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta , 1991.
Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis,
Volume I EGC, Jakarta ,
1994.
Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical
Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.
Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan,
EGC, Jakarta ,
1994.
Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah,
Edisi 3 EGC, Jakarta ,
1996.
Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta
Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.
Oswari, E, Bedah dan Perawatannya,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta ,
1993.
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis,
Gramedia, Jakarta
1997.
Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah
Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta , 1995.
0 comments:
Post a Comment