BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses penuaan adalah suatu proses
fisiologi umum yang sampai saat ini masih sulit untuk dipahami. Ditandai dengan
adanya proses degenerasi sel dan sistem yang dibentuknya secara keseluruhan,
perlahan tapi pasti. Proses menua berbeda pada setiap individu. Perbedaan
tersebut dipengaruhi oleh faktor keturunan, nutrisi, gaya hidup dan faktor
lingkungan.
Setiap tahun jumlah lansia di seluruh
dunia semakin bertambah karena semakin meningkatnya usia harapan hidup. Di
negara – negara yang sudah maju, jumlah lansia rerlatif lebih besar dibanding
dengan negara - negara berkembang, karena tingkat perekonomian yang lebih baik
dan fasilitas pelayanan kesehatan sudah memadai. Hal ini juga akan menimbulkan
masalah pelayanan kesehatan terutama pada kaum lansia.
Usia harapan hidup di Indonesia saat ini
adalah 65 tahun. Sejalan dengan bertambahnya umur mereka, mereka sudah tidak
tidak produktif lagi, kemampuan fisik maupun mental mulai menurun, tidak mampu
lagi melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat, memasuki masa pensiun,
ditinggal pasangan hidup, stress menghadapi kematian, munculnya berbagai macam
penyakit, dan lain - lain. Karena sel-sel mengalami degeneratif maka fungsi
dari sistem organ juga mengalami penurunan. Kulit menjadi keriput, rambut putih
dan menipis, gigi berlubang dan tanggal, fungsi penglihatan, pendengaran,
pengecapan atau pencernaan mulai menurun, konstipasi, osteoporosis, gangguan
sistem kardiovaskuler dan lain-lain.
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna
yang terbanyak pada usia lanjut. Trejadi peningkatan keluhan ini dengan
bertambahnya usia, 30-40 % orang berusia di atas 65 tahun mengeluh konstipasi.
Di Inggris, 30 % penduduk berusia di atas 60 tahun merupakan konsumen yang
teratur menggunakan obat pencahar. Suatu penelitian yang melibatkan 3.000 orang
berusia di atas 65 tahun menunjukkan sekitar 34 % perempuan dan 26% laki-laki
mengeluh mengalami konstipasi.
BAB II
ISI
2.1 Mekanisme gastro intestinal pada
lansia
Pada klien yang sudah memasuki lanjut usia
sistem gartro intestinalnya banyak mengalami perubahan akibat adanya proses
penuaan, diantaranya :
a.
rongga
mulut, perubahan yang terkait dengan usia :
1. Hilangnya tulang periosteumdan
periodontal, misalnya tanggalnya gigi.
2. Retraksi
dari struktur gusi, misalnya Kesulitan dalam
mempertahankan gigi palsu yang pas.
3. Hilangnya
rasa, misalnya Perubahan sensasi rasa, peningkatan penggunaan garam.
b.
Esofagus,
lambung, usus :
1. Dilatasi Esofagus,
misalnya peningkatan resiko aspirasi.
2. Penurunan reflek muntah
3. Atrofi mukosa lambung, misalnya mengalami perlambatan mencerna
makanan
4. Rasa lapar menurun, asam lambung menurun
5. Penurunan motilitas lambung, misalnya Penurunan absorbsi obat-
obatan, zat besi, kalsium, vit. B12. konstipasi sering terjadi.
6. Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi.
7. Daya absorbsi melemah.
c. Saluran empedu, hati, kandung empedu,
pancreas :
1. Ukuran hati dan pancreas mengecil, penurunan kapasitas menyimpan, kemampuan mensintesis
protein dan enzim-enzim pencernaan, misalnya sekresi
insulin berkurang.
2. Perubahan metabolisme asam empedu yang signifikan, misalnya Peningkatan sekresi
kolesterol.
2.2.
KEBUTUHAN NUTRISI PADA LANSIA
Setiap mahluk hidup membutuhkan makanan untuk
mempertahankan kehidupannya, karena didalam makanan terdapat zat-zat gizi yang
dibutuhkan tubuh untuk melakukan kegiatan metabolismenya. Bagi lansia pemenuhan
kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu dalam proses
beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang dialaminya
selain itu dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-sel tubuh sehingga dapat
memperpanjang usia. Kebutuhan kalori pada lansia berkurang karena berkurangnya
kalori dasar dari
kebutuhan fisik. Kalori dasar adalah kalori
yang dibutuhkan untuk malakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat,
misalnya : untuk jantung, usus, pernafasan dan ginjal.
Berdasarkan kegunaannya bagi tubuh, zat gizi
dibagi ke dalam tiga kelompok
besar, yaitu :
- Kelompok zat energi, termasuk ke dalam kelompok ini adalah :
a.Bahan makanan yang mengandung karbohidrat
seperti beras, jagung, gandum, ubi, roti, singkong dll, selain itu dalam bentuk
gula seperti gula, sirup, madu, dll.
b. Bahan makanan yang mengandung lemak
seperti minyak, santan, mentega, margarine, susu dan hasil olahannya.
2. Kelompok zat pembangun
Kelompok ini meliputi makanan – makanan yang
banyak mengandung protein, baik protein hewani maupun nabati, seperti daging,
ikan, susu, telur, kacangkacangan dan olahannya.
3. Kelompok zat pengatur
Kelompok ini meliputi bahan-bahan yang banyak
mengandung vitamin dan mineral, seperti buah-buahan dan sayuran.
2.2.1
FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI KEBUTUHAN GIZI PADA
LANSIA
1. Berkurangnya kemampuan mencerna makanan
akibat kerusakan gigi atau ompong.
2. Berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan
penurunan terhadap cita rasa manis, asin, asam, dan pahit.
3. Esophagus/kerongkongan mengalami
pelebaran.
4. Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.
5. Gerakan usus atau gerak peristaltic lemah
dan biasanya menimbulkan konstipasi.
6. Penyerapan makanan di usus menurun.
2.2.2
MASALAH GIZI PADA LANSIA
1. Gizi berlebih
Gizi berlebih pada lansia banyak terjadi di
negara-negara barat dan kota-kota besar. Kebiasaan makan banyak pada waktu muda
menyebabkan berat badan berlebih, apalai pada lansia penggunaan kalori
berkurang karena berkurangnya aktivitas fisik. Kebiasaan makan itu sulit untuk
diubah walaupun disadari untuk mengurangi makan. Kegemukan merupakan salah satu
pencetus berbagai penyakit, misalnya : penyakit jantung, kencing manis, dan
darah tinggi.
2. Gizi kurang
Gizi kurang sering disebabkan oleh
masalah-masalah social ekonomi dan juga karena gangguan penyakit. Bila konsumsi
kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan menyebabkan berat badan kurang dari
normal. Apabila hal ini disertai dengan kekurangan protein menyebabkan kerusakan-kerusakan
sel yang tidak dapat diperbaiki, akibatnya rambut rontok, daya tahan terhadap
penyakit menurun, kemungkinan akan mudah terkena infeksi.
3. Kekurangan vitamin
Bila konsumsi buah dan sayuran dalam makanan
kurang dan ditambah dengan kekurangan protein dalam makanan akibatnya nafsu
makan berkurang, penglihatan menurun, kulit kering, penampilan menjadi lesu dan
tidak bersemangat.
2.2.3 PEMANTAUAN
STATUS NUTRISI
1. Penimbangan Berat Badan
a. Penimbangan BB dilakukan secara teratur
minimal 1 minggu sekali, waspadai peningkatan BB atau penurunan BB lebih dari
0.5 Kg/minggu. Peningkatan BB lebih dari 0.5 Kg dalam 1 minggu beresiko
terhadap kelebihan berat badan dan penurunan berat badan lebih dari 0.5 Kg
/minggu menunjukkan kekurangan berat badan.
b. Menghitung berat badan ideal pada dewasa :
Rumus : Berat badan ideal = 0.9 x (TB dalam cm
– 100)
Catatan untuk wanita dengan TB kurang dari
150 cm dan pria dengan TBkurang dari 160 cm, digunakan rumus : Berat badan ideal = TB dalam cm – 100
Jika BB lebih dari ideal artinya gizi
berlebih, jika BB kurang dari ideal artinya gizi kurang
2. Kekurangan kalori protein
Waspadai lansia dengan riwayat : Pendapatan
yang kurang, kurang bersosialisasi, hidup sendirian, kehilangan pasangan hidup
atau teman, kesulitan mengunyah, pemasangan gigi palsu yang kurang tepat, sulit
untuk menyiapkan makanan, sering mangkonsumsi obat-obatan yang mangganggu nafsu
makan, nafsu makan berkurang, makanan yang ditawarkan tidak mengundang selera.
Karena hal
ini dapat menurunkan asupan protein bagi
lansia, akibatnya lansia menjadi lebih mudah sakit dan tidak bersemangat.
3. Kekurangan vitamin D
Biasanya terjadi pada lansia yang kurang mendapatkan
paparan sinar matahari, jarang atau tidak pernah minum susu, dan kurang
mengkonsumsi vitamin D yang banyak terkandung pada ikan, hati, susu dan produk
olahannya.
2.2.4 PERENCANAAN
MAKANAN UNTUK LANSIA
v Perencanaan makan secara umum
1. Makanan harus mengandung zat gizi dari makanan
yang beraneka ragam, yang terdiri dari : zat tenaga, zat pembangun dan zat
pengatur.
2. Perlu diperhatikan porsi makanan, jangan
terlalu kenyang. Porsi makan
hendaknya diatur merata dalam satu hari
sehingga dapat makan lebih sering
dengan porsi yang kecil. Contoh menu :
Pagi : Bubur ayam
Jam 10.00 : Roti
Siang : Nasi, pindang telur, sup, pepaya
Jam 16.00 : Nagasari
Malam : Nasi, sayur bayam, tempe goreng,
pepes ikan, pisang
3. Banyak minum dan kurangi garam, dengan banyak
minum dapat memperlancar pengeluaran sisa makanan, dan menghindari makanan yang
terlalu asin akan memperingan kerja ginjal serta mencegah kemungkinan
terjadinya darah tinggi.
4. Batasi makanan yang manis-manis atau gula,
minyak dan makanan yang berlemak seperti santan, mentega dll.
5. Bagi pasien lansia yang prose penuaannya
sudah lebih lanjut perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
· Makanlah
makanan yang mudah dicerna
· Hindari
makanan yang terlalu manis, gurih, dan goring-gorengan
· Bila
kesulitan mengunyah karena gigi rusak atau gigi palsu kurang baik, makanan
harus lunak/lembek atau dicincang
· Makan
dalam porsi kecil tetapi sering
· Makanan
selingan atau snack, susu, buah, dan sari buah sebaiknya
diberikan
6. Batasi minum kopi atau teh, boleh
diberikan tetapi harus diencerkan sebab berguna pula untuk merangsang gerakan
usus dan menambah nafsu makan.
7. Makanan mengandung zat besi seperti :
kacang-kacangan, hati, telur, daging rendah lemak, bayam, dan sayuran hijau.
8. Lebih dianjurkan untuk mengolah makanan
dengan cara dikukus, direbus, atau dipanggang kurangi makanan yang digoreng.
v Perencanaan makan untuk mengatasi perubahan
saluran cerna
Untuk mengurangi resiko konstipasi dan
hemoroid :
1. Sarankan untuk mengkonsumsi makanan
berserat tinggi setiap hari, seperti sayuran dan buah-buahan segar, roti dan
sereal.
2. Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit
8 gelas cairan setiap hari untuk melembutkan feses.
3. Anjurkan untuk tidak menggunakan laksatif
secara rutin , karena pasien akan menjadi tergantung pada laksatif.
2.2.5 CARA
MEMBERI MAKAN MELALUI MULUT (ORAL)
1. Siapkan makanan dan minuman yang akan
diberikan
2. Posisikan pasien duduk atau setengah
duduk.
3. Berikan sedikit minum air hangat sebelum
makan.
4. Biarkan pasien untuk mengosongkan mulutnya
setelah setiap sendokan.
5. Selaraskan kecepatan pemberian makan
dengan kesiapan pasien, tanyakan
pemberian makan terlalu cepat atau lambat.
6. Perbolehkan pasien untuk menunjukkan
perintah tentang makanan pilihan pasien
yang ingin dimakan.
7. Setelah selesai makan, posisi pasien tetap
dipertahankan selama ± 30 menit.
2.2.6 CONTOH
BAHAN MAKANAN UNTUK SETIAP KELOMPOK MAKANAN
1. Bahan makanan sumber karbohidrat (zat
energi) :
Nasi, bubur beras, nasi jagung, kentang,
singkong, ubi, talas, biskuit, roti , crakers, maizena, tepung beras, tepung
terigu, tepung hunkwe, mie, bihun.
2. Bahan makanan sumber lemak (zat energi) :
Minyak goreng, minyak ikan, margarin, kelapa,
kelapa parut, santan, lemak daging.
3. Bahan makanan sumber protein hewani :
Daging sapi, daging ayam, hati, babat, usus,
telur, ikan, udang.
4. Bahan makanan sumber protein nabati :
Kacang ijo, kacang kedelai, kacang merah,
kacang tanah, oncom, tahu, tempe.
2.2.7 KEBUTUHAN
CAIRAN PADA LANJUT USIA
Manusia perlu minum untuk mengganti cairan
tubuh yang hilang setelah melakukan aktivitas. Air sangat besar artinya bagi
tubuh kita, karena air membantu menjalankan fungsi tubuh, mencegah timbulnya
berbagai penyakit disaluran kemih seperti kencing batu, batu ginjal, dll. Air
juga sebagai pelumas bagi fungsi tulang dan sendi. Manfaat lain dari minum air
putih adalah mencegah sembelit karena untuk mengolah makanan dalam usus sangat
dibutuhkan air, tentu saja tanpa air yang cukup
kerja usus tidak dapat maksimal dan timbullah
sembelit.
Air mineral atau air putih lebih baik
daripada kopi, teh kental, softdrink, alkohol, es, maupun sirup dan dianjurkan
minimal kita minum air putih 1.5 sampai dengan 2 liter/hari. Minuman seperti
kopi, teh kental, softdrink, alkohol, es, maupun sirup bahkan tidak baik untuk
kesehatan dan harus dihindari terutama bagi para lansia yang mempunyai
penyakit-penyakit tertentu seperti kencing manis, darah tinggi, obesitas, dan
jantung.
A. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBUTUHAN CAIRAN
PADA LANSIA
1. Berat badan (lemak tubuh) cenderung
meningkat dengan bertambahnya usia, sedangkan sel-sel lemak mengandung sedikit
air, sehingga komposisi air dalam tubuh lansia kurang dari manusia dewasa yang
lebih muda atau anak-anak dan bayi.
2. Fungsi ginjal menurun dengan bertambahnya
usia. Terjadi penurunan kemampuan untuk memekatkan urin, mengakibatkan
kehilangan air yang lebih tinggi.
3. Terdapat penurunan asam lambung, yang
dapat mempengaruhi individu untuk mentoleransi makanan-makanan tertentu. Lansia
terutama rentan terhadap konstipasi karena penurunan pergerakan usus. Masukan
cairan yang terbatas, pantangan diit, dan penurunan aktivitas fisik dapat
menunjang perkembangan konstipasi. Penggunaan laksatif yang berlebihan atau
tidak tepat dapat mengarah pada masalah diare.
4. Lansia mempunyai pusat haus yang kurang
sensitif dan mungkin mempunyai masalah dalam mendapatkan cairan ( misalnya
gangguan dalam berjalan ) atau mengungkapkan keinginan untuk minum (misalnya
pasien stroke).
B. MASALAH CAIRAN PADA LANSIA
Masalah cairan yang lebih sering dialami
lansia adalah kekurangan cairan tubuh,
hal ini berhubungan dengan berbagai perubahan-perubahan yang dialam lansia,
diantaranya adalah peningkatan jumlah lemak pada lansia, penurunan fungsi ginjal untuk memekatkan urin dan penurunan
rasa haus.
2.3
Gangguan Sistem Gastro Intestinal pada Lansia
2.3.1 Konstipasi
Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan
secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan
antara individu. Biasanya konstipasi berdasarkan laporan pasien sendiri.
Batasan dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah
besar feses memenuhi ampula rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses
pada kolon, rectum, atau keduanya yang tampak pada foto polos perut.
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh
Holson, meliputi paling seedikt 2 dari keluhan di bawah ini yang terjadi,
yaitu:
1.
Konsistensi feses yang keras,
2.
Mengejan dengan keras saat BAB.
3.
Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari
keseluruhan BAB.
4.
Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.
Berdasarkan
rekomendasi dari Intenational workshop on
Constipation, konstipasi dikategorikan dalam dua golongan yaitu :
a.
Konstipasi fungsional
Konstipasi yang disebabkan waktu perjalanan yang
lambat dari feses. Kriterianya meliputi :
Ø Mengedan keras 25%
dari BAB.
Ø Feses yang keras 25%
dari BAB.
Ø Rasa tidak tuntas
25% dari BAB.
Ø BAB kurang dari 2
kali/ minggu.
b.
Konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada
muara rekto-sigmoid.
Konstipasi ini menunjukkan adanya disfungsi
anorectal, biasanya ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus. Kriteria :
Ø Hambatan pada anus
> 25% BAB.
Ø Waktu untuk BAB
lebih lama.
Ø Perlu bantuan
jari-jari untuk mengeluarkan feses.
A. Pemeriksaan pada Klien Konstipasi
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksan fisik
pada klen konstipasi meliputi :
a.
Inspeksi : pembesaran abdomen, peregangan atau
tonjolan
b.
Palpasi : pada permukaan perut untuk menilai
kekuatan otot- otot perut, palpasi lebih dalam dapat meraba masa feses di
kolon, adanya tumor atau aneurisma aorta
c.
Perkusi : dicari antara lain pengumpulan gas
berlebihan, pembesaran organ, asites, adanya masa feses.
d.
Auskultasi : mendengarkan suara gerakan usus besar,
normal/ berlebihan missal pada sumbatan usus.
Pada pemeriksaan anus memberikan petunjuk penting
misalnya adakah wasir, prolaps, fisura, fistula, dan masa tumor di daerah anus
yang dapat mengganggu proses BAB. Pemeriksaan colok dubur harus dikerjakan
antara lain untuk mengetahui ukuran dan kondisi rectum serta besar dan
konsistensi feses.
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
penunjang pada klien konstipas :
a.
Pemeriksaan laboratorium, dikaitkan dengan upaya
mendeteksi factor- factor resiko penyebab konstipasi. Seperti : BSN/ 2JPP, DL,
elektrolit
b.
Anuskopi, dianjurkan dikerjakan secara rutin pada
semua pasien dengan konstipasi untuk menemukan adakah fisura, ulkus, wasir, dan
keganasan.
c.
Foto polos perut harus dikerjakan pada pasien
konstipasi terutama yang terjadinya akut. Dapat mendeteksi adakah impaksi feses
yang dapat menyebabkan sumbatan pada kolon.
d.
Sinedefecografi, adalah pemeriksaan radiologis
daerah anorektal untuk menilai evakuasi feses secara tuntas, mengidentifikasi
kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rectal.
e.
Uji manametri, dilakukan untuk menguji tekanan pada
rectum dan saluran anus saat istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menlai
fungsi anorektal.
f.
Elektromiografi, dapat mengukur misalnya tekanan
sfingter dan fungsi saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan
respon sfingter yang terhambat
B.
Faktor
Resiko Konstipasi pada Usia Lanjut
a.
Obat- obatan
b.
Kondisi neurologis
c.
Gangguan metabolic
d.
Kausa psikologis
e.
Penyakit- penyakit saluran cerna
C. Komplikasi :
a.
Impaksi feses (feses kering dan keras) di rectum
70%, sigmoid 20%, kolon bagian proksimal 10%
b.
Volvolus daerah sigmoid
c.
Prolaps rectum
D. Pengobatan
1.
Pengobatan Non Farmakologi
a.
Latihan usus besar
b.
Diet
c.
Olah raga
2.
Pengobatan Farmakologis
Dipakai obat- obatan
golongan pencahar:
a.
Memperbesar dan melunakkan masa feses: sereal, methyl selulose.
b.
Melunakkan dan melicinkan feses: minyak kastor,
golongan decussate
c.
Golongan osmotic yang tidak diserap: sorbitol,
gliserin
d.
Merangsang peristaltic usus: bisakodil, fenolptalin
REFERENSI
:
Darmojo, R. Boedhi.,dkk.1999. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Gallo, Joseph.1998. Buku Saku Gerontologi. Jakarta : EGC
Nugroho, Wahjudi.2000. Keperawatan Gerontik.Jakarta : EGC
Potter & Perry.2005.Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi 4.Jakarta :EGC
0 comments:
Post a Comment